draft skenario: Tax Compliance
MASA DEPAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PAJAK
(TAX COMPLIANCE)
Skenario tingkat pemenuhan kewajiban perpajakan di masa yang akan datang
Pendahuluan:
Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi negara dalam menjalankan pemerintahan, dalam kurun 10 (sepuluh) tahun terakhir porsi penerimaan APBN lebih dari 70% ditopang dari sektor pajak. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan”, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Di sisi lain,bagi pelaku bisnis pajak merupakan salah satu hal yang akan mengurangi keuntungan perusahaan. Secara umum dampak pajak untuk aktivitas bisnis:
a. Profit perusahaan menjadi berkurang
b. rate of return bagi investor akan berkurang
c. bonus bagi manajemen berkurang
d. kompensasi kepada karyawan akan berkurang
e. mempengaruhi harga jual dan tingkat persaingan dengan perusahaan lain.
Dengan kondisi seperti yang disebutkan di atas, perusahaan selaku wajib pajak mempunyai kecenderungan untuk meminimalisir pengenaan pajak bagi perusahaannya yang berakibat terhadap tingkat pemenuhan kewajiban pajak.
Decision Focus:
Dengan kondisi sebagaimana tercermin pada pendahuluan maka Decision Focus yang muncul adalah “Bagaimana pemenuhan kewajiban pajak 5 (lima) tahun mendatang?”
Key Decision Factor:
Untuk menentukan Key Decision Factor ada beberapa pertanyaan yang mengemuka, yaitu:
1. Apakah ketentuan pajak menghambat pelaku bisnis?
- Jika jawabannya Tidak, maka mestinya ketaatan pajak dari pelaku bisnis baik;
- Jika jawabannya Ya, maka ketaatan pajak akan turun karena para pelaku bisnis cederung menghindar dari pengenaan pajak (Tax Avoidance bahkan Tax Evasion)
2. Apa pertimbangan pelaku bisnis untuk menunaikan atau tidak menunaikan kewajiban pajaknya?
- Semata-mata ketentuan perpajakan yang berlaku?
- Dipengaruhi faktor lain yaitu pelayanan, yang dapat dijabarkan antara lain:
a. Kemudahan dan kesederhanaan administrasi dalam pemenuhan kewajiban pajak;
b. Integritas dari aparat pajak (Direktorat Jenderal Pajak)
Hal tersebut di atas dapat dijabarkan beberapa faktor kunci antara lain:
1. Implikasi UU Pajak yang berlaku terhadap aktivitas bisnis, antara lain;
- Menambah beban administrasi (perhitungan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan)
- Menjadi faktor yang diperhitungkan di dalam menentukan margin keuntungan yang akan di dapat
2. Akomodasi ketentuan pajak terhadap perkembangan bisnis, antara lain;
- Ketidakjelasan pengaturan transaksi syariah dalam UU PPN yang berlaku, namun hal ini masuk dalam RUU PPN yang baru
- Model pemberian kredit atau pinjaman yang dikelola selain Bank telah diakomodir di dalam UU PPh baru
3. Ketentuan pajak berpihak kepada masyarakat wajib pajak secara fair, antara lain;
- Sunset policy, penghapusan sanksi bagi wajib pajak yang membenahi kesalahan pajaknya di masa lampau
- Peningkatan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk memberikan aspek keadilan bagi masyarakat berpenghasilan rendah
- Perlakuan yang berbeda antara wajib pajak ber NPWP dengan tidak ber NPWP
4. Kepastian hukum di dalam penunaian kewajiban pajak;
- Dengan Self Assessment, wajib pajak dianggap benar sebeum terbukti bersalah
- Diberikan batasan daluwarsa penetapan pajak oleh Negara, yaitu 5 (lima) tahun untuk membuktikan kesalahan wajib pajak
5. Penegakan hukum di dalam pelanggaran pemenuhan kewajiban pajak;
- Penambahan jumlah sanksi administrasi maupun pidana bagi pelanggar ketentuan pajak
- Pemberian insentif (bunga) bagi wajib pajak yang mendapat pengembalian dari negara tapi terlambat dibayarkan
6. Tingkat kepuasan wajib pajak terhadap pelayanan aparat pajak;
Berbagai survey media kepuasan pelanggan (wajib pajak) kepada DJP semakin membaik
7. Penilaian kinerja aparat pajak;
Penilaian ini dilakukan baik oleh unit internal DJP maupun Departemen Keuangan serta LSM pada umumnya
8. Integritas aparat pajak;
Transparansi Internasional Indonesia menilai tinkat korupsi di DJP cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya
9. Equal treatment antara wajib pajak dengan aparat pajak;
Sesuai UU KUP, tidak hanya masyarakay wajib pajak yang salah yang akan mendapat hukuman setimpal, tetapi aparat pajak yang bersalah juga diberi hukuman sesuai ketentuan yang berlaku
10. Kemudahan perhitungan pajak;
Penyederhanan tarif dalam perhitungan PPh dengan pendekatan accounting base
11. Kesederhanaan pelaporan pajak;
DJP telah membuat berbagai cara mudah untuk wajib pajak melaporkan kewajiban pajaknya, seperti e-spt (data elektronik) dan e-filling (melalui jaringan)
12. Reformasi Direktorat Jenderal Pajak
Sejak tahun 2002 Pemerintah sudah mengumandangkan Reformasi di tubuh DJP dengan visi “Menjadi Institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi”
Environmental Forces:
1. Politik:
Komitmen Pemerintah dan DPR untuk memaksimalkan kepentingan masyarakat dan negara dalam regulasi perpajakan.
Dilakukannya amandemen UU Pajak yang pro iklim bisnis (business friendly) yaitu UU KUP pada tahun 2007 (UU No. 28 tahun 2007) dan UU PPh pada tahun 2008 (UU Nomor 36 Tahun 2008), serta UU PPN sedang dibahas di DPR.
2. Teknologi:
- Perkembangan teknologi membuat semakin mudah dan banyak transaksi e-commerce
- Kebutuhan akan kemudahan dalam pelaporan semakin membesar
3. Hukum:
- Kepastian Hukum
Apakah penyelesaian sengketa pada level Pengadilan Pajak dapat menjadi yuriprudensi pengajuan sengketa secara umum;
- Penegakan Hukum
Siapa yang salah dan siapa yang benar apakah mendapatkan konsekuensi hukum sesuai ketentuan;
- Birokrasi;
Image cost yang timbul malah semakin besar dalam penyelesaian sengketa hukum, termasuk pajak
4. Sosial:
- Kultur masyarakat terhadap pemenuhan kewajiban pajak
- Budaya masyarakat membayar dan mendapat sesuatu, menyebabkan paradigma berfikir, jika membayar pajak apa yang akan didapat
- Membayar pajak belum membudaya
- Pembayar pajak tidak dianggap sebagai pahlawan, dan sebaliknya pengemplang pajak belum mendapat sanksi social sebagaimana criminal lainnya.
5. Ekonomi:
- Dalam negeri, antara lain:
paket regulasi ekonomi nasional, kebijakan investasi, ekspor/impor, regulasi daerah dan kebijakan fiskal dan moneter
- Internasioanl, antara lain:
krisis ekonomi global maupun regional, perdagangan bebas, perjanjian perdagangan, monopoli pasar dan supplier.
Scenario Logics:
Untuk menyusun scenario logik maka diambil 2 (dua) variabel mendasar, yaitu:
1. Hubungan antara ketentuan pajak dengan iklim dan aktivitas bisnis;
- Hubungan yang sejalan (positif) terjadi di mana ketentuan pajak dianggap berhasil mengakomodir iklim dan aktivitas bisnis; dan
- Hubungan yang berlawanan (negatif) terjadi di mana ketentuan pajak dianggap tidak berhasil mengakomodir iklim dan aktivitas bisnis
2. Tingkat kepuasan wajib pajak terhadap pelayanan Direktorat Jenderal Pajak;
- Hubungan yang sejalan (positif) terjadi di mana masyarakat wajib pajak puas dengan pelayanan dari DJP; dan
- Hubungan yang berlawanan (negatif) terjadi di mana masyarakat wajib pajak tidak puas dengan pelayanan dari DJP
Memilih dan Mengelaborasi Skenario:
Hubungan Pajak dengan Bisnis
(+)
Skenario “Kopi Panas” | Pelayanan | ||
(-) Skenario “Sapi Perah” | (+) Skenario “Enak di Lidah” |
(-)
Skenario Durian Monthong:
Pada skenario ini, ketaatan wajib pajak sangat baik, disebabkan faktor-faktor yang mendukung benar-benar terjadi, yaitu:
- Ketentuan pajak tidak mengganggu iklim dan aktivitas bisnis, malah mengakomodirnya dalam perubahan-perubahan ketentuan, hal ini menyebabkan wajib pajak tidak berkeinginan menghindar dari pengenaan pajak. Hubungan yang terjadi adalah hubungan positif; dan
- Pelayanan dari aparat pajak benar-benar memuaskan wajib pajak sehingga mempermudah wajib pajak untuk taat tehadap kewajiban pajaknya. Hubungan ini disimbolkan dengan hubungan yang positif.
Untuk mempermudah persepsi, maka scenario ini disebut skenario durian monthong yang menunjukkan hal yang positif antara bau yang menyengat dan kelezatan rasa, dalam hal ini wajib pajak tersengat dengan pelayanan yang baik dan juga menikmati ketentuan yang berlaku.
Skenario Enak di Lidah:
Pada skenario ini, ketaatan wajib pajak kurang baik, disebabkan faktor-faktor yang mendukungnya benar-benar terjadi, yaitu:
- Ketentuan pajak mengganggu iklim dan aktivitas bisnis, tidak mengakomodirnya dalam perubahan-perubahan ketentuan, hal ini menyebabkan wajib pajak berkeinginan menghindar dari pengenaan pajak. Hubungan yang terjadi adalah hubungan negatif; sedangkan
- Pelayanan dari aparat pajak benar-benar memuaskan wajib pajak sehingga mempermudah wajib pajak untuk taat tehadap kewajiban pajaknya. Hubungan ini disimbolkan dengan hubungan yang positif.
Untuk mempermudah persepsi, maka scenario ini disebut skenario Enak di Lidah karena hal positif yang terjadi adalah sekedar tampilan saja yakni pelayanan, tapi esensi ketentuan yang berlaku sebenarnya tidak pro aktivitas bisnis.
Skenario Kopi Panas:
Pada skenario ini, ketaatan wajib pajak kurang baik, disebabkan faktor-faktor yang mendukungnya benar-benar terjadi, yaitu:
- Ketentuan pajak tidak mengganggu iklim dan aktivitas bisnis, malah mengakomodirnya dalam perubahan-perubahan ketentuan, hal ini menyebabkan wajib pajak tidak berkeinginan menghindar dari pengenaan pajak. Hubungan yang terjadi adalah hubungan positif; namun
- Pelayanan dari aparat pajak tidak atau kurang memuaskan wajib pajak sehingga menyebabkan wajib pajak kurang atau tidak taat tehadap kewajiban pajaknya. Hubungan ini disimbolkan dengan hubungan yang negatif.
Untuk mempermudah persepsi, maka scenario ini disebut skenario Kopi Panas karena walapun pelayanan tidak bagus, sebagaimana kopi berwarna hitam dan panas menyengat, tapi esensinya benar-benar nikmat ketika diminum, yang dianalogkan dengan esensi ketentuan pajak yang berlaku sebenarnya mendukung dengan iklim dan aktivitas bisnis.
Skenario Sapi Perah:
Pada skenario ini, ketaatan wajib pajak tidak baik, disebabkan faktor-faktor yang mendukungnya benar-benar terjadi, yaitu:
- Ketentuan pajak mengganggu iklim dan aktivitas bisnis, tidak mengakomodirnya dalam perubahan-perubahan ketentuan, hal ini menyebabkan wajib pajak berkeinginan menghindar dari pengenaan pajak. Hubungan yang terjadi adalah hubungan negatif; dan
- Pelayanan dari aparat pajak tidak atau kurang memuaskan wajib pajak sehingga menyebabkan wajib pajak kurang atau tidak taat tehadap kewajiban pajaknya. Hubungan ini disimbolkan dengan hubungan yang negatif.
Untuk mempermudah persepsi, maka skenario ini disebut skenario Sapi Perah karena kelihatan bahwa pemerintah hanya mentargetkan penerimaan pajak tanpa berfikir konsekuensi bagi iklim dan aktivitas bisnis, bahkan tidak mempedulikan pelayanan kepada para wajib pajak.
(for: member of DGT-KIS UI 2008)
Komentar