Pokok-pokok Perubahan UU PPh

Pendahuluan

Pajak merupakan salah satu hal penting yang diperhatikan oleh para pelaku bisnis di seluruh dunia. Pajak dapat digunakan oleh pelaku bisnis sebagai daya tarik investor, namun dapat juga sebagai proteksi masuknya investor asing. Sehingga dapat dikatakan pengusaha yang akan menginvestasikan uangnya akan memperhatikan rate of return yang akan dia diperoleh. Pajak merupakan salah satu hal yang akan mengurangi keuntungan perusahaan.

Dengan kondisi seperti yang disebutkan di atas, perusahaan selaku wajib pajak mempunyai kecenderungan untuk meminimalisir pengenaan pajak bagi perusahaannya yang berpotensi besar melanggar ketentuan undang undang di bidang perpajakan.

Di sisi lain negara sangat berkepentingan dengan penerimaan pajak, yang kita tahu sekarang ini lebih dari 70% penerimaan negara berasal dari pajak. Konsekuensi dengan keadaan ini, maka pemerintah berupaya terus menerus membuat ketentuan perpajakan yang memadai dan dapat memenuhi target penerimaan negara.

Upaya pemerintah ini memperbaiki ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku bagi dunia usaha juga harus memperhitungkan aspek kepentingan wajib pajak, agar dampak-dampak negatif sebagaimana dimaksud di atas tidak terjadi.

Salah satu jenis pajak yang diterapkan di negara kita adalah Pajak Penghasilan. Pengenaan Pajak Penghasilan pertama kali diatur dalam Undang undang nomor 7 tahun 1983 yang diberlakukan sejak tanggal 1 Januari tahun 1984. Undang-Undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Seiring perkembangan zaman terjadi beberapa kali perubahan terhadap Undang undang Pajak Penghasilan ini, yaitu:

  1. Undang undang nomor 7 tahun 1983 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984;
  2. Undang undang nomor 7 tahun 1991 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1992;
  3. Undang undang nomor 10 tahun 1994 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995;
  4. Undang undang nomor 17 tahun 2000 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001.

Dan sejak tahun 2004 pemerintah telah mengagendakan perubahan UU PPh, yang baru berhasil disahkan pada tahun 2008 dengan diterbitkannya Undang undang nomor 36 tahun 2008 pada tanggal 23 September 2008 dan berlaku mulai 1 Januari 2009 yang akan datang.


Latar Belakang Perubahan

Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dipandang perlu untuk dilakukan perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.

Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut:

1. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;

dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya.

2. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;

dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain, mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan disederhanakan. Perubahan dan penyederhanaan struktur tarif ini meliputi penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut

3. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;

untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.

4. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan

5. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.


Pokok pokok perubahan

1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh);

Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh
yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah,
meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).

  1. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35%
    menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4
    lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.

Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif Pajak

sampai dengan Rp50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah)

5%

(lima persen)

di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)

15%

(lima belas persen)

di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

25%

(dua puluh lima persen)

di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

30%

(tiga puluh persen)

  1. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu
    10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25%
    tahun 2010.

Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.

  1. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan
    tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian
    peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif
    tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada
    kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.
  2. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh
    Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto.
    Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP
    dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan
    kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.
  3. Bagi WP pemberi jasa dan sewa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.
  4. Bagi WP OP penerima dividen yang semula dikenakan pemotongan PPh dengan tarif 15% dan harus diperhitungkan lagi pada akhir tahun, sehingga dapat dikenai tarif PPh progresif hingga tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final paling tinggi 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.

2. Penghapusan pembayaran Fiskal Luar Negeri

Bagi WP yang telah mempunyai NPWP dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009, dan pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke
luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga
kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Besaran PTKP sebagai pengurang dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dirubah sebagai berikut:

  1. untuk diri WP orang pribadi ditingkatkan sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta,
  2. sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3
    tanggungan setiap keluarga.

Perubahan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter. Perubahan PTKP ke depan dapat dilakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan DPR.

4. Pengenaan PPh 22 terhadap WP yang melakukan pembelian barang tergolong sangat mewah

Dalam Pasal 22 UU PPh yang baru menambahkan ketentuan yaitu member wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Kriteria barang yang tergolong sangat mewah tersebut bisa dilihat dari jenis barangnya maupun harganya seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.

5. Penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang lebih tinggi bagi WP
yang tidak memiliki NPWP.

  1. Bagi WP penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan
    20% lebih tinggi dari tarif normal.
  2. Bagi WP menerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif normal.
  3. Bagi WP yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenakan pemungutan 100% lebih tinggi dari tarif normal.

6. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto

  1. Dengan maksud pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial dan kemasyarakatan, maka diperkenankannya biaya sebagai berikut sebagai pengurang penghasilan bruto, yaitu:

- Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional;

- Sumbangan daam rangka pembangunan infrastruktur sosial;

- Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan;

- Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.

- Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga; dan

- Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

  1. Perluasan atas pembentukan atau pencadangan biaya yang diperkenankan yaitu:

- cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank (UU lama) dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi (UU lama), perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;

- cadangan untuk usaha asuransi (UU lama) termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

- cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

- cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

- cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri.

  1. Di samping itu terdapat pengurangan syarat penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, yaitu:

- telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan

- telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

- syarat ketiga tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil.

7. Pengecualian dari objek PPh

  1. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba
    yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan
    pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
  2. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak
    dikenai pajak.
  3. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak.

8. Perluasan obyek PPh

  1. Bunga obligasi yang diterima perusahaan reksadana

Dalam UU PPh yang lama termasuk kategori penghasilan bukan obyek pajak adalah bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha, namun dalam ketentuan UU PPh yang baru ini ketentuan ini dihapuskan, dengan kata lain menjadi obyek PPh.

  1. Imbalan bunga

Yaitu imbalan bunga yang diterima wajib pajak dari negara sebagaimana dimaksud di dalam UU KUP

  1. Penghasilan usaha berbasis syariah

Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun demikian, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini

  1. Surplus Bank Indonesia ditegaskan sebagai objek pajak

Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU
PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.

9. Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Untuk wajib pajak orang pribadi yang mempunyai usaha dan atau pekerjaan bebas, batasan penghasilan bruto yang diperkenankan menghitung PPh dengan norma dinaikkan dari 1,8 Milyar setahun menjadi 4,8 Milyar setahun.

Hal ini bertujuan memberikan kemudahan bagi wajib pajak orang pribadi dimaksud di dalam menunaikan kewajiban PPh nya.

10. Peraturan perpajakan untuk industri khusus

Untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Penutup

Dengan perubahan Undang undang PPh yang ke empat kalinya ini, dapat dilihat kemauan dari Pemerintah untuk mengakomodir kepentingan dari para wajib pajak. Tentu saja UU ini belum seratus persen memenuhi keinginan para pembayar pajak dan pengusaha, tetapi inilah titik kompromi antara Pemerintah dengan rakyatnya melalui DPR. Ke depan tentu saja kelemahan dan kekurangan yang ada dalam UU harusnya dapat diminimalisir agar sasaran dari perubahan UU ini tercapai.

Bola berikutnya tentu saja ada pada ketentuan lebih lanjut dari UU PPh yang baru ini berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan maupun Peraturan Dirjen Pajak agar UU ini lebih mudah diimplementasikan bagi oleh aparat pajak maupun wajib pajak, dan tetap sesuai kadiah umumnya, tidak boleh bertentangan dengan peraturan pada tingkat yang lebih tinggi.


disampaikan dalam pelatihan pajak di Unika Atma Jaya, 5 November 2008

Komentar

bestfriend mengatakan…
terimakasih. GBU.
salam,
ayla
DR CAja mengatakan…
best artikel. Terimakasih
cKAja mengatakan…
Terimakasih postingannya!
kta kita

Postingan populer dari blog ini

Ngobrol Santai

Cintai isterimu

Orang Pajak Bisa Kaya